Annihilation (2018): Perjalanan Visual dan Psikologis yang Bikin Gelisah

 


Review film Annihilation (2018) dengan sudut pandang segar: pengalaman menonton, visual memukau, atmosfer misterius, hingga refleksi filosofis yang bikin gelisah.

Suasana Misterius yang Menyambut dari Menit Pertama

    Ada film yang bikin kita mikir lama setelah layar padam—bukan karena plotnya rumit, tapi karena atmosfernya menempel di kepala. Annihilation (2018) adalah salah satunya. Dari menit awal, film ini seperti menarik kita masuk ke ruang yang asing, penuh warna, tapi juga penuh ketidakpastian. Rasanya seperti berdiri di tepi hutan yang indah sekaligus menakutkan.

The Shimmer: Dunia Indah yang Mengganggu Pikiran

    Yang bikin film ini beda bukan cuma ceritanya tentang “sekelompok ilmuwan masuk ke zona misterius.” Justru, film ini bermain dengan rasa penasaran dan ketidakpastian. “The Shimmer” bukan sekadar latar tempat, tapi jadi simbol kekacauan, perubahan, dan hal-hal yang sulit kita pahami sebagai manusia. Saat nonton, aku merasa seolah ikut nyemplung ke wilayah itu—indah sekaligus bikin dada sesak karena misteri yang nggak terjawab dengan gamblang.

Natalie Portman sebagai Lena: Rapuh tapi Menghantui

    Natalie Portman sebagai Lena benar-benar mencuri perhatian. Dia bukan tipikal pahlawan gagah berani, tapi manusia yang rapuh dengan luka batin. Justru kerentanannya itu bikin perjalanan dia lebih kuat. Ada satu momen kecil ketika ekspresinya kosong, tapi matanya menyiratkan konflik dalam—seolah dia bukan cuma melawan “The Shimmer”, tapi juga melawan dirinya sendiri. Karakter Kane (Oscar Isaac) pun menambah lapisan emosional, walau kehadirannya lebih sebagai misteri yang menghantui Lena.

Adegan yang Bikin Merinding Tanpa Jumpscare Murahan

    Ada adegan ketika tim ilmuwan duduk di sekitar api unggun, berbicara dengan nada ketakutan yang disembunyikan. Kamera menangkap keheningan itu lebih lama dari biasanya, bikin penonton merasakan atmosfer mencekam. Rasanya seperti kita sendiri yang duduk di sana, mendengar suara aneh dari kegelapan. Tanpa harus ada jumpscare, momen itu bikin bulu kuduk merinding.

Visual Annihilation: Perpaduan Mimpi Indah dan Mimpi Buruk

    Kalau harus jujur, salah satu kekuatan utama Annihilation ada di visualnya. Warna-warna pastel yang indah, vegetasi yang seakan hidup dengan aturan baru, dan makhluk-makhluk aneh yang sekaligus cantik sekaligus disturbing. Atmosfer film ini seperti gabungan mimpi indah dan mimpi buruk yang dipaksa jadi satu. Bahkan tanpa dialog, gambar-gambarnya sendiri udah cukup bikin penonton betah sekaligus nggak nyaman.

Annihilation dan Refleksi tentang Trauma serta Perubahan Diri

    Buatku, Annihilation lebih dari sekadar film sci-fi. Ini adalah refleksi tentang perubahan, kehilangan, dan sisi gelap diri manusia. “The Shimmer” bisa jadi metafora untuk trauma—hal yang mengubah kita secara perlahan, kadang indah, tapi juga menghancurkan. Menonton film ini bikin aku mikir: seberapa jauh kita bisa menerima perubahan, bahkan kalau perubahan itu membuat kita jadi orang yang berbeda?

Penutup: Siapa yang Cocok Nonton Film Ini?

    Annihilation (2018) bukan film untuk semua orang. Kalau kamu mencari hiburan ringan, film ini bisa terasa terlalu lambat atau terlalu aneh. Tapi kalau kamu suka film yang membiarkanmu tenggelam dalam visual, atmosfer, dan refleksi, maka film ini adalah pengalaman sinematik yang wajib dicoba. Cocok banget buat penggemar sci-fi filosofis ala Arrival atau Blade Runner 2049, dan buat mereka yang nggak takut merasa sedikit gelisah setelah menonton.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

DAFTAR ISI REVIEW & TEORI FILM