Mortal Engines (2018): Ketika Kota Jadi Monster dan Dunia Tak Lagi Diam

 


Mortal Engines (2018) hadir dengan dunia steampunk yang megah dan kota-kota berjalan, tapi apakah visual spektakuler cukup menutupi ceritanya yang datar? Simak ulasan jujur dan penuh opini di sini.

Saat Kota Berjalan, Tapi Jiwanya Tak Sampai

    Bayangkan kalau kota tempatmu tinggal tiba-tiba punya roda raksasa, dan mulai memburu kota-kota kecil lain untuk bertahan hidup. Kedengarannya absurd, kan? Tapi begitulah dunia di Mortal Engines, dan jujur saja, aku masuk ke film ini tanpa ekspektasi apa-apa—dan keluar dengan kepala penuh gambar, tapi hati agak kosong.

Ketika Kota Jadi Predator dan Sejarah Jadi Senjata

    Dunia dalam Mortal Engines bukan cuma post-apocalyptic; ini lebih mirip steampunk yang jatuh cinta dengan Mad Max tapi pengen tampil kalem. Kota-kota besar seperti London berubah jadi makhluk mekanik pemangsa, memburu kota-kota kecil yang disebut “kota mangsa.” Konsep “Darwinisme Perkotaan” ini sebenarnya gila dan segar—tapi sayangnya, setelah beberapa menit, kegilaan itu terasa dangkal.

    Sebagai penonton, aku kagum sama ide dasarnya, tapi kecewa karena eksplorasinya terasa... terburu-buru. Ada sejarah panjang, politik antar kota, teknologi masa lalu yang disembunyikan—tapi semuanya numpuk seperti puzzle yang dilem pakai lem murah: mudah lepas, dan tidak cukup erat untuk bikin emosiku ikut tertarik.

Hester Shaw: Luka di Wajah, Perang di Dalam Diri

    Dari sekian banyak karakter, hanya satu yang benar-benar membekas di kepalaku: Hester Shaw. Dia bukan protagonis biasa—wajahnya menyimpan luka yang bukan cuma fisik, tapi juga batin yang hancur. Hester punya dendam, dan itu jadi bahan bakar utama perjalanan film ini.

    Salah satu momen kecil yang membuatku berhenti sejenak: saat Hester mengucapkan, “I’m not beautiful, I’m not strong, I just survived.” Kalimat itu menampar keras, di tengah dunia yang sibuk tampil spektakuler. Ada sesuatu yang mentah dan jujur dalam caranya melihat dunia, dan meskipun aktingnya tidak selalu konsisten, Hester adalah alasan kenapa aku tetap bertahan menonton.

Ketika Kota Kecil Diburu oleh Kota Raksasa

    Ada satu adegan di awal film yang masih membekas kuat: sebuah kota kecil yang sedang berjalan tenang di padang rumput, tiba-tiba dihantui bayangan raksasa. Dari balik kabut, London muncul—bukan sebagai kota, tapi sebagai predator. Bayangkan suara roda logam yang menggerung, tanah yang retak, dan manusia panik mencoba melarikan diri dari kota pemangsa itu.

    Scene ini dibuat seperti film monster klasik—bukan dengan teriakan, tapi dengan tekanan. Tanpa harus banyak dialog, kita tahu: dunia ini sudah gila.

Visual Spektakuler Mortal Engines: Dunia Steampunk yang Indah Tapi Dingin

    Secara visual, Mortal Engines adalah pesta. CGI-nya mengesankan, desain kotanya unik, dan efek steampunk-nya cukup menggoda. Tapi seperti pesta yang terlalu megah, semua jadi terasa terlalu sibuk. Rasanya seperti masuk ke toko permen warna-warni, tapi tidak diizinkan mencicipi apa pun.

    Desain karakter juga menarik—terutama Shrike, sosok mekanik menyeramkan yang jadi semacam “Frankenstein” dalam cerita ini. Tapi atmosfernya sering terasa terlalu dingin, tidak ada cukup kehangatan untuk membuatku benar-benar peduli pada dunia atau orang-orang di dalamnya.

Di Balik Mesin: Apa yang Mortal Engines Coba Katakan Tentang Peradaban?

    Yang menarik, Mortal Engines menyimpan pertanyaan besar tentang peradaban: seberapa jauh kita akan melangkah demi bertahan hidup? Apakah kemajuan teknologi selalu membawa harapan, atau justru mempercepat kehancuran?

    Film ini juga mengingatkanku tentang bagaimana dendam bisa jadi warisan yang mematikan. Hester bukan satu-satunya yang memikul luka masa lalu—semua karakter di film ini seakan berjalan dengan beban sejarah, tapi tak semuanya tahu bagaimana melepaskannya.

Layak Ditonton? Mortal Engines Cocok Buat Siapa dan Kenapa

    Mortal Engines adalah film yang ambisius, berani, dan visualnya luar biasa. Tapi seperti kota raksasa yang ia gambarkan, film ini terlalu sibuk bergerak hingga lupa memberi ruang untuk bernapas. Karakternya terlalu banyak, emosinya terlalu tipis, dan ide cemerlangnya tenggelam dalam eksekusi yang serba terburu-buru.

    Film ini cocok untuk penonton yang suka dunia steampunk, penggemar sci-fi berbau fantasi, dan mereka yang menikmati visual epik tanpa terlalu memikirkan kedalaman cerita. Kalau kamu cari tontonan yang ‘wah’ secara visual tapi bisa ditinggal mikir soal snack selanjutnya—ya, ini bisa jadi pilihan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

DAFTAR ISI REVIEW & TEORI FILM