Saat Drama Jadi Cermin: Rasanya Menonton Itaewon Class di Tengah Kegagalan Hidup
Ada masa-masa dalam hidup ketika kita jatuh terlalu dalam, dan satu-satunya yang bisa kita genggam hanyalah prinsip. Itaewon Class bukan sekadar kisah balas dendam atau perjalanan anak muda membuka restoran di gang sempit Seoul. Ini seperti duduk di tengah malam, memikirkan kegagalan, lalu tiba-tiba ada suara yang berkata, “Bangkit. Ini belum selesai.”
Lebih dari Balas Dendam: Dunia Keras dan Harapan di Balik Itaewon Class
Sebagai penonton, saya tidak merasa sedang menonton drama Korea biasa. Itaewon Class terasa seperti kita ikut menanam benih dari nol, menyiramnya dengan air mata, lalu melihatnya tumbuh perlahan jadi pohon yang keras kepala. Dunia dalam serial ini dingin dan keras, penuh aturan sosial tak tertulis yang merayap diam-diam, tapi juga menyala oleh harapan kecil yang diperjuangkan dengan gigih.
Setiap episode bukan sekadar konflik baru, tapi kelanjutan dari luka lama yang belum selesai dijahit. Ini bukan cerita tentang siapa menang dan siapa kalah, tapi tentang bagaimana seseorang bisa tetap berjalan, walau dunia seperti ingin menggilasnya.
Park Sae-ro-yi dan Jo Yi-seo: Dua Kepala Batu yang Tak Mudah Lupa
Park Sae-ro-yi. Nama itu saja sudah cukup untuk mewakili seluruh esensi serial ini. Ia bukan tokoh dengan banyak dialog dramatis atau air mata berlebihan, tapi keteguhannya menampar saya berkali-kali. Ada satu momen ketika dia berkata, “Hidupku hancur, tapi prinsipku tetap utuh.” Dan di situ, saya berhenti sejenak—bertanya, apakah saya juga punya keberanian seperti dia?
Tokoh lainnya yang membekas di kepala adalah Jo Yi-seo. Awalnya dia hanya tampak seperti tipikal karakter “anak pintar dengan attitude,” tapi lambat laun, dia menjadi pusat gravitasi cerita. Ketika dunia Park Sae-ro-yi mulai goyah, Yi-seo hadir bukan sebagai penyelamat, tapi sebagai katalis yang mempercepat semua—entah menuju kehancuran atau kemenangan.
Adegan Kecil, Luka Besar: Momen-Momen Sunyi yang Mengguncang di Itaewon Class
Ada satu malam ketika lampu-lampu Itaewon menyala, jalanan ramai oleh tawa dan langkah kaki, tapi Sae-ro-yi berdiri diam di depan restorannya yang masih kosong. Kamera menyorot dari belakang, memperlihatkan punggungnya yang tak goyah. Musik latar mengalun pelan, bukan dramatis, hanya seperti nafas—dan saya merasakan itu. Ketegangan, harapan, dan sedikit rasa takut, semuanya ada di sana.
Momen itu mungkin terlihat kecil, tapi bagi saya, di situlah “jiwa” Itaewon Class berada. Di balik keramaian kota, ada seseorang yang sedang bertarung dengan sunyinya sendiri.
Itaewon dalam Sorotan Neon: Atmosfer Kota yang Jadi Karakter Tersendiri
Tidak seperti K-drama yang memanjakan mata dengan pemandangan indah ala pegunungan atau laut biru, Itaewon Class memilih jalur yang lebih “jalanan”. Lampu neon, lorong sempit, graffiti di dinding, hingga suasana restoran yang hangat tapi tidak mewah—semuanya terasa nyata. Bahkan, karakter pun terlihat biasa secara visual, tapi itulah kekuatannya: Itaewon Class tidak ingin terlihat cantik, tapi jujur.
Desain visual drama ini seperti melukis sisi lain Seoul yang jarang kita lihat di drama mainstream: urban, keras, penuh identitas minoritas, dan justru karena itu—sangat manusiawi.
Prinsip, Luka, dan Mimpi: Apa yang Diam-Diam Diajarkan Itaewon Class?
Ada banyak drama yang mengajarkan kita bahwa mimpi itu indah. Tapi Itaewon Class menunjukkan bahwa mimpi itu menyakitkan, melelahkan, dan kadang... terasa bodoh. Tapi tetap saja, kita perlu mimpi. Drama ini membuat saya bertanya, “Sudah sejauh mana saya mempertahankan prinsip dalam hidup?” dan lebih penting lagi, “Berani gak saya membela orang-orang yang saya cintai, bahkan ketika itu artinya melawan sistem?”
Itaewon Class juga menyentil banyak isu sosial: diskriminasi, ketimpangan kelas, orientasi seksual, hingga luka keluarga. Tapi yang paling dalam adalah pertanyaan tentang integritas. Apakah kita akan tetap berdiri saat dunia menyuruh kita tunduk?
Untuk Kamu yang Masih Bertahan: Kenapa Itaewon Class Layak Ditonton Sekarang
Menonton Itaewon Class rasanya seperti ikut membuka warung kecil di tengah kota besar yang tak ramah. Ada harapan, kemarahan, tawa, dan luka yang tumbuh bersama. Drama ini bukan untuk mereka yang hanya ingin hiburan ringan. Ini untuk kamu yang sedang bertanya, “Apakah aku salah arah?” atau “Masih layak gak sih aku memperjuangkan ini?”